Halaman

Senin, 26 Desember 2011

KODE ETIK SESAMA MUSLIM

KODE ETIK SESAMA MUSLIM
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ (متفق عليه)
Artinya : Sesungguhnya Abu Hurairah r.a, menuturkan, aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hak seorang muslim atas muslim lainnya itu ada lima; (1) menjawab salam, (2) menengok orang sakit, (3) mengantarkan jenazah, (4) memenuhi undangan, dan (5) menjawab bangkis.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 1164 dan Muslim: 4022. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)
Islam adalah agama samawi terakhir yang paripurna. Ajarannya bersifat universal. Tidak hanya mengurusi masalah akidah dan ibadah, tetapi juga masalah-masalah yang menyangkut tata etika dan norma-norma yang bermartabat. Maka tidak heran, apabila setelah empat belas abad yang silam, cahaya Islam semakin terang dan panjinya kian berkibar di seantero dunia.
Hadis di atas menggambarkan betapa ajaran Islam yang paripurna itu mengatur urusan yang kelihatan seperti sepele, padahal nilainya sangat besar dan bermanfaat bagi peradaban manusia modern. Menjawab salam adalah salah satu ajaran yang mengandung arti perdamaian. Menengok orang yang sakit dan mengantarkan jenazah adalah ajaran yang mengandung nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial. Memenuhi undangan dan menjawab bangkis dengan doa bagi saudaranya juga termasuk nilai-nilai sosial yang harus dilestarikan oleh pemeluknya.
Pada pembahasan sebelumnya, sudah kami ulas mengenai urgensi mengucapkan salam, mewujudkan perdamaian antar sesama yang dapat mengantarkan seseorang menuju surga. Tentu saja hal tersebut tidak berarti cukup dengan menyebarkan salam semata, melainkan harus disertai juga dengan beribadah yang khusyu’ kepada Allah dan mengaplikasikannya dalam tataran sosial. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr r.a, Rasulullah s.a.w. bersabda:
اعْبُدُوا الرَّحْمَنَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَأَفْشُوا السَّلاَمَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
(رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد)
Artinya : “Sembahlah Allah Yang Maha Pengasih, berikanlah makanan, dan sebarkanlah salam, maka kamu sekalian akan masuk surga dengan penuh kesejahteraan.” (Hadis Hasan Shahih, Riwayat al-Tirmidzi: 1778, Ibnu Majah: 3684, Ahmad: 6298. teks hadis di atas riwayat al-Tirmidzi)
Berikutnya adalah menengok orang yang sakit. Dalam konsep Islam, setiap muslim adalah bersaudara, satu kesatuan, bagaikan satu tubuh. Jika ada salah satunya yang sakit, maka yang lainnya pun ikut merasakannya. Nabi s.a.w. sendiri jika mendengar kabar ada salah seorang sahabatnya yang sakit, maka beliau menengoknya. Tidak hanya kepada sesama muslim, beliau pun tidak segan untuk menengok mereka yang non-muslim, bahkan musyrik sekalipun. Diceritakan, pada masa pra hijrah, di Makkah ada seorang musyrik yang selalu mengganggu Nabi s.a.w. untuk pergi ke masjid. Suatu ketika ia jatuh sakit, sehingga hari itu Nabi s.a.w. merasa aman beribadah. Akhirnya beliau mencari tahu kabar orang musyrik tersebut. Setelah diketahui bahwa orang itu sakit, beliau pun langsung menengoknya. Demikianlah, dakwah Islam disebarkan dengan keramahan dan penuh persahabatan.
سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه البخاري ومسلم وأحمد)
Artinya : Amir berkata, aku mendengar al-Nu’man bin Basyir berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kamu melihat kaum mukminin dalam hal sayang menyayangi, cinta mencintai, dan kasih mengasihi, bagaikan satu tubuh. jika ada salah satu anggota tubuh yang mengeluh (sakit), maka anggota tubuh lainnya ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5552, Muslim: 4685, dan Ahmad: 17648. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)
Begitu pula ketika saudara sesama muslim itu diketahui tutup usia. Seyogyanya seorang muslim melayat dan bertakziyah pada keluarga yang ditinggalkan. Selanjutnya ia bersama kaum muslimin lainnya mendoakan, menshalatkan, dan ikut mengantarkan jenazahnya ke tempat pemakaman. Khusus bagi jenazah non-muslim, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, kita diperbolehkan melayatnya dan menghibur keluarganya yang ditinggalkan.
Selain itu, umat muslim pun dituntut untuk ikut bergembira ketika ada saudaranya sesama muslim yang mendapatkan anugerah Tuhan. Merayakan sebuah resepsi adalah bukti rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya. Ketika seorang muslim mengundang muslim lainnya untuk menghadiri acara tasyakurannya, misalnya walimah, maka sebagai seorang muslim yang diundang harus menghadirinya. Dikatakan demikian, sebab rasa senang dan syukur shahibul hajat akan bertambah nilainya jika para undangan dapat hadir dalam acaranya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا (رواه البخاري ومسلم وأبو داود وابن ماجه)
Artinya : Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. mengatakan, bahwa sesengguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu diundang pada suatu resepsi, maka datangilah!” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 4775, Muslim: 2574, Abu Dawud: 3247, dan Ibnu Majah: 1904. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)
Kendati demikian, Rasulullah s.a.w. mengkritik secara tegas kebanyakan orang yang merayakan walimah dengan memilah para undangan berdasarkan kelas ekonomi di masyarakat. Mereka hanya mengundang saudaranya yang kaya, sementara yang miskin tidak turut diundang. Mereka menganggap pesta yang dirayakannya hanya pantas untuk kalangan kelas tinggi. Sedangkan kalangan pinggiran sama sekali tidak pantas bergaul bersama mereka. Sikap sombong dan angkuh inilah yang dijadikan inti dari kritik Nabi s.a.w. berkenaan dengan sebagian praktik walimah di masyarakat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. beliau menuturkan bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda, “Seburuk-buruknya makanan adalah makanan yang dihidangkan dalam acara resepsi pernikahan, orang-orang kaya diundang untuk menghadirinya, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Siapa yang tidak menghadiri undangan, maka sungguh ia telah durhaka pada Allah dan Rasul-Nya.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 4779 dan Muslim: 2585. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)
Mengenai persoalan bangkis (bersin-bersin), Islam pun tak luput mengatur kode etiknya. Ketika ada seorang muslim yang bangkis, kemudian mengucapkan hamdalah, maka seorang muslim yang mendengarnya dianjurkan untuk menjawabnya dengan doa semoga ia dirahmati Allah. Setelah itu, orang yang bangkis menjawabnya dengan doa semoga saudaranya itu mendapat petunjuk dan kebaikan dari Allah. Hal ini sebagaimana diatur dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah s.a.w. bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ (رواه البخاري وأبو داود)
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu bangkis, maka hendaklah ia mengucapkan “alhamdulillah” (segala puji bagi Allah). Sedangkan saudaranya atau temannya hendaklah mengucapkan “Yarhamkumullah” (semoga Allah merahmatimu). Apabila diucapkan kepadanya “Yarhamukumullah”, maka hendaklah ia (yang bangkis) menjawab, “Yahdikumullah wa yushlihu Balakum” (semoga Allah memberi petunjuk padamu dan menjadikan perkaramu baik).” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5756 dan Abu Dawud: 4377. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)
Bagaimana jika umat non-muslim yang bangkis, apakah manusia muslim harus menjawabnya dengan doa sebagaimana disebutkan di atas. Kepada non-muslim diberikan doa dengan doa yang telah disebutkan di atas, tetapi dengan doa agar mereka mendapat petunjuk dari Allah s.w.t. dan memperoleh keadaan yang baik. Sebagaimana Nabi s.a.w. tetap mendoakan mereka agar memperoleh petunjuk dan kebaikan dari Allah s.w.t.. Dalam hal ini, Nabi s.a.w. memberikan contoh. Pada suatu hari ada sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi s.a.w. Mereka bangkis-bangkis dengan harapan agar Nabi s.a.w. mendoakan mereka untuk mendapatkan rahmat dari Allah s.w.t. Tetapi beliau malah mendoakan mereka agar mendapatan petunjuk dari Allah s.w.t.
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُمْ اللَّهُ فَيَقُولُ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
(رواه الترمذي وأبو داود)
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, menuturkan, kaum Yahudi bangkis-bangkis di hadapan Nabi s.a.w.. Mereka mengharap agar Nabi s.a.w. mengucapkan “Yarhamukumullah”, tetapi Nabi s.a.w. malah mengucapkan “Yahdikumullah wa yushlihu Balakum”. (Hadis Hasan Shahih, Riwayat al-Tirmidzi: 2663 dan Abu Dawud: 4381. teks hadis di atas riwayat al-Tirmidzi)
Selain kepada non-muslim, Nabi s.a.w. juga tidak menjawab bangkis seorang muslim yang tidak mengucapkan hamdalah. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. menuturkan, ada dua orang yang bangkis di hadapan Nabi s.a.w. Beliau menjawab bangkis orang yang satu, sedangkan bangkis orang yang satunya lagi tidak beliau jawab. Ketika ditanya alasannya beliau menjawab,
هَذَا حَمِدَ اللَّهَ وَهَذَا لَمْ يَحْمَدِ اللَّهَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya : “Orang ini bangkis dengan mengucapkan hamdalah (sehingga aku menjawabnya), sedangkan yang lainnya tidak mengucapkan hamdalah (sehingga aku tidak menjawabnya).” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5753 dan Muslim: 5307. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)
Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam kitabnya Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari menguraikan argumentasi kenapa orang yang bangkis disarankan untuk mengucapkan hamdalah. Mengutip pendapatnya al-Khattabi dan Ibn al-Arabi, bangkis adalah aktivitas manusia yang timbul, karena menyedikitkan makanan agar badan tidak berat sebab kekenyangan. Hal ini akan mendorong seseorang untuk giat beraktivitas dalam beribadah dan bekerja. Karenanya, Nabi s.a.w. melansir bahwa bangkis disukai oleh Allah s.w.t.. Adapun bangkis yang terus-menerus berulangkali sampai tiga kali atau lebih adalah gejala penyakit influenza. Pada saat itu, tidak disyariatkan bagi orang yang mendengarnya untuk menjawab bangkis tersebut. Karena hal itu, menurut riwayat Ibnu Syaibah dari jalur Abdullah bin al-Zubair, adalah penyakit yang keluar dari kepala.
Berbeda dengan bangkis, demikian jelas Ibnu Hajar, menguap justru adalah kebalikannya. Menguap menurut al-Khattabi dan al-Nawawi, bermula dari kelebihan lemak akibat berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, sehingga malas beraktivitas, baik untuk beribadah maupun bekerja. Oleh karena itu, dalam sebuah hadis, Nabi s.a.w. mengatakan bahwa menguap itu berasal dari setan. Jika seseorang mau menguap, maka ia harus segera mengembalikan stamina semaksimal mungkin agar tidak lemas dan malas dalam beraktivitas. Dikatakan berasal dari setan, sebab menguap membuat seseorang bermalas-malasan, dan hal ini menjadikan setan senang dibuatnya. (Ibnu Hajar al-Asqalani: 1424 H/2004 M: 10/675-690).
Kesimpulan
1.                  Setiap muslim dengan muslim lainnya, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikannya, demikian pula dengan masyarakat di sekitarnya.
2.                  Mengucapkan atau menjawab salam merupakan suatu yang terpuji dalam rangka menebarkan perdamaian di tengah masyarakat.
3.                  Menjenguk orang sakit dan mendoakan kesembuhannya merupakan bagian dari perwujudan akhlak yang terpuji. Demikian pula mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
4.                  Mengundang dan atau menghadiri undangan sahabat dan kerabat merupakan benih-benih persahabatan yang harus terus disemai dan dipupuk dengan penuh perhatian.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar