BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama yang diturunkan Allah kepada
makhluk-Nya melalui Rasulullah SAW sebagai agama terakhir atau final, sekaligus
sebagai satu-satunya agama yang benar. Sebagai agama yang benar dan terakhir,
maka Allah membekali makhluk-Nya dengan Alquran, yang mana dalam hal ini,
Alquran haruslah mampu menjawab segala sesuatu persoalan yang timbul.
Dengan dasar ini, banyak persoalan yang muncul tentang
Allah itu sendiri, akan tetapi banyak yang hanya mampu menjawab secara rasio,
bukan memakai Alquran. Kalaupun ada yang memakai Alquran, sering sekali tafsir
dari ayat tersebut terlupakan. Tafsir sangat diperlukan di dalam memaknai ayat
Alquran karena memandang ada yang masih sangat kontroversi (sulit dipahami)
seperti ayat-ayat musyâbihât.
Maka dari itu, demi memahami ayat-ayat yang ada
kaitannya dengan Allah, perlulah dibahas pentafsiran ayat-ayat tersebut
berdasarkan pendapat dan riwayat dari para sahabat maupun tabiin.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah
yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
- Tafsir ayat-ayat sifat Allah.
- Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang terpuji terhadap Allah.
- Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang tercela terhadap Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir Ayat-Ayat Sifat
Allah
Pada dasarnya, wajib menetapkan segala sifat
kesempurnaan terhadap Allah, dan membersihkan segala sifat kekurangan
terhadap-Nya. Allah juga memiliki sifat jawâz (boleh dan tidak) melakukan
sesuatu perkara. Akan tetapi, menurut `Asyâ’irah dan Mâthurîdiyyah, sifat yang
wajib diketahui secara terperinci adalah dua puluh (20) sifat.
Memandang 20 sifat itu sangat banyak untuk dibahas
penafsiran setiap ayat Alquran yang menjadi dalil baginya, maka sifat (tafsir
ayat sifat tersebut) yang akan dibahas hanyalah sifat: 1. al-Baqâ` ( ) yang berarti tetap; 2. al-Mukhâlafah
li al-Hawâdits (
) yang berarti berbeda dengan makhluk; 3. Al-Kalâm ( ) yang berarti Maha
berbicara.
Bagi yang pertama (1), yaitu sifat al-Baqâ` ( ), dalil Alquran sifat ini
berdasarkan pada ayat:
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah,
Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah). Bagi-Nyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Imam Ibn Katsîr berpendapat bahwa ayat {كُلُّ شَيْءٍ
هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} itu mengkabarkan bahwa sesungguhnya Allah
SWT itu adalah Zat yang kekal ( ), tetap ( ), hidup, yang berdiri dengan
sendiri-Nya, yang mematikan makhluk-Nya, dan Zat yang tidak akan mati. Ini
seperti yang ditegaskan Allah SWT pada ayat {كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ}.
Kata { } di sini berarti Zat yaitu Allah. Dalam Hadis
sahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulallah SAW pernah
bersabda: “Aku membenarkan kalimat yang dilantunkan seorang penyair {
}. Dr. Wahbah al-Zuhailî melanjutkan bahwa
ayat ini juga menetapkan bahwa segala sesuatu yang baru ( ) itu pasti rusak dan akan
hilang.
Imam al-Thabarî berkata bahwa ada sebagian ulama
berpendapat bahwa makna ayat ini adalah segala sesuatu itu pasti rusak kecuali
apa yang diingini oleh Allah.
Menurut tafsirannya Ibn ‘Abbâs, yang dimaksud dengan
ayat { } adalah segala amal yang bukan karena Allah,
itu ditolak kecuali yang ditujukan kepada Allah. Juga ditafsiri dengan segala
zat itu pasti berubah kecuali Zat Allah, dan segala kerajaan pasti hilang
kecuali kerajaan Allah.
Sifat yang kedua (2) adalah al-Mukhâlafah li
al-Hawâdits (),
sedangkan dalil Alqurannya adalah ayat:
"وَلَمْ يَكُنْ
لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ "
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
Sebab turunnya surah al-`Ikhlas ini adalah pada saat
orang-orang musyrik berkata pada Nabi Muhammad SAW: “Ya Muhammad! Ceritakan
kami nasab Tuhan kamu!, maka Allah menurunkan ayat { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
(1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ
وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا
أَحَدٌ (4)}”. Dari riwayat yang lain
mengatakan bahwa ada segolongan orang Yahudi yang datang menemui Nabi Muhammad
SAW lalu berkata: “Sifatilah kepada kami Tuhan kamu, karena sesungguhnya Allah
menurunkan sifat-Nya di dalam Taurat. Maka kabarilah kami dari apakah Dia? Dari
jenis apakah Dia? Emaskah, tembagakah, atau perakkah? Apakah Dia makan dan
minum? Dari siapakah diwariskan dunia, dan kepada siapakah Dia akan mewariskan
dunia?”. Maka Allah menurunkan surah ini yang hanya dinisbatkan kepada Allah
sahaja.
Dari segi bacaan, lafaz {كُفُوًا} itu dibaca sesuai dengan bacaan Imam
Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya, mereka membacanya dengan {كُفُؤاً}.
Dari segi makna perlafaznya, kata { } memiliki arti yang menyamai ( ). Jadi makna kalimatnya adalah
“tidak ada satupun yang menyamai-Nya ( )”, seperti
istri dan selainnya.
Tafsir yang dikeluarkan Ibn Katsîr bagi ayat ini
adalah Allah SWT tidak memiliki istri. Ini juga selaras dengan pendapat Mujâhid
yang berdalilkan ayat {بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ
لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ
صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ}, yaitu
Allah adalah Raja segala sesuatu dan Sang Pencipta, bagaimana Allah bisa
memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya?, atau hampir menyamai-Nya?
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini
digunakan untuk membatalkan keyakinan orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa
Allah itu memiliki sepadan di dalam pekerjaan-Nya, sehingga mereka menjadikan
malaikat sebagai teman (sahabat) bagi Allah, serta patung-patung dan berhala
adalah sepadan dengan Allah. Ini juga didasari oleh ayat Alquran yang lain:
6:101, 19:92-95, dan 21:26-27. Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini
menolak semua akidah yang sesat seperti 1) al-Tsanawiyyah yang berpendapat
wujudnya Tuhan dua bagi alam yaitu siang dan malam; 2) Kristen yang berpendapat
Tuhan tiga (trinitas); 3) al-Shâbi`ah yang menyembah langit dan bintang; 4)
Yahudi yang mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah; 5) Orang musyrik yang
berpendapat bahwa sesungguhnya malaikat adalah anak perempuan Allah.
Menurut Imam al-Thabarî, ahli pentakwil berbeda
pendapat dalam menafsiri ayat ini. Ada sebagian dari mereka yang berpendapat
maknanya adalah “tidak ada yang menyerupai atau menyamai Allah ( )”. Sebagian
yang lain berpendapat Allah tidak memiliki istri. Sedangkan secara bahasa, kata
{الكُفُؤُ والكَفِيءُ والكِفَاءُ} memiliki arti yang sama yaitu “ “.
Sifat yang ketiga (3) adalah al-Kalâm ( ), sedangkan dalil
Alqurannya adalah ayat:
"وَرُسُلًا قَدْ
قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ
مُوسَى تَكْلِيمًا
"
Dan (Kami telah
mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu
dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan
Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
Dr. Wahbah al-Zuhailî menerangkan bahwa ayat ini
menunjukkan keistimewaan Nabi Musa AS yang mendapat gelar Kalîm Allah. Ini
didasari oleh Ayat { } yaitu
berbicara yang benar secara hakiki dengan tanpa perantara. Sedangkan sifat
al-Kalâm Allah kepada para nabi yang lain, itu disebut dengan wahyu. Ini
berdasarkan ayat { وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ
يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ
مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا
يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }. Hikmah dibalik hijab; adalah bertujuan
memerhatikan perkara yang penting kepada hanya satu perkara. Sedangkan yang
bertugas untuk mengirim wahyu dengan izin Allah adalah Jibril AS, yaitu
malaikat wahyu, yang dikenal dengan Ruh Amin.
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan bahwa ayat
ini bertujuan menolak ucapan orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya kamu tidak ingat Nabi Musa AS serta apa yang kamu hitung dari
kalangan nabi-nabi. Maka ini adalah dalil bahwa kamu tidak membawa risâlah”.
Maka Allah menolak tersebut dengan menurunkan ayat ini dan setelahnya.
Selanjutnya, al-Shâwî menafsiri lafaz { } dengan menegaskan bahwa
Allah SWT menghilangkan hijab sehingga Musa AS mampu mendengarkan kalam Allah,
dan Allah SWT bukanlah Zat yang diam (
), lalu baru berfirman, karena
sesungguhnya perkara tersebut itu adalah mustahil bagi Allah SWT. Kata { } itu adalah masdar mu`akkad
bagi firman { }. Tujuan
memperkuat hukum adalah agar menghilangkan kemungkinan dimaknai dengan majâz
bagi lafaz tersebut, karena Allah SWT itu berfirman kepada Musa AS dengan
firman-Nya yang Azali, Qadîm, dengan tanpa huruf, bukan berupa suara, tidak
dapat digambarkan, tidak dibatasi, dan tidak ada yang mengerti kecuali Allah.
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini
tidak menunjukkan dengan keistimewaan Musa ini, berarti merendahkan derajat dan
keistimewaan nabi-nabi yang lain. Begitu juga ayat ini bukan merendahkan nabi
yang mendapat risâlah tidak dengan jalan sekali turun seluruhnya (seperti yang
didapatkan Nabi Musa AS).
B.
Tafsir Ayat tentang Akhlak
yang Terpuji terhadap Allah
Dalam Alquran, juga disebutkan beberapa akhlak (budi
pekerti) yang terpuji terhadap Allah. Salah satu yang paling utama adalah
syukur. Masalah syukur ini disebut di dalam Alquran pada ayat:
"فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي
وَلَا تَكْفُرُونِ "
Karena itu,
ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkati (ni’mat)-Ku
Dalam menerangkan konsep syukur bagi ayat ini, Imam
Ibn Katsîr menerangkan di dalam tafsirnya bahwa ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} itu adalah sebuah perintah Allah untuk bersyukur kepada-Nya,
dan syukur tersebut dilaksanakan dengan menambahkan kebaikan. Dari ini Allah
berfirman {وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah hadis yang datang
dari Abû Rajâ` al-‘Uthâridî yang menceritakan bahwa “‘Imrân keluar menemuiku,
dan ‘Imrân membawa sepotong kain dari sutera ( ) yang belum pernah aku
melihat sebelum ini dan setelahnya, lalu ‘Imrân berkata: sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda: Barang siapa yang Allah memberi nikmat kepadanya dengan sebuah nikmat,
maka Allah itu menyukai untuk diperlihatkan efek dari nikmat tersebut dari
makhluk-Nya”.
Menurut Imam al-Thabarî, ayat ini menyuruh orang-orang
mukmin agar bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan
Allah kepada mereka, yaitu berupa Islam, atau hidayah berupa agama yang telah
disyariatkan bagi nabi-nabi Allah serta kekasih-Nya. Lalu Allah memerintahkan
untuk tidak melakukan kekufuran (tidak bersyukur) terhadap kebaikan Allah
kepada mereka (mukmin), niscaya Allah akan merampas nikmat yang telah diberikan
kepada mereka. Sebaliknya kalau mereka bersyukur, maka Allah akan menambah lalu
menyempurnakan nikmat-Nya terhadap mereka, dan Allah akan memberi mereka
hidayah seperti hidayah yang diberikan kepada hamba-Nya yang diridai-Nya. Selanjutnya,
Imam al-Thabarî menjelaskan bahwa makna syukur di sini adalah memuji.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, Allah memerintahkan
untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada orang mukmin
dengan cara hati, lisan, dan mengunakan segala anggota pada apa yang dijadikan
Allah bagi anggota tersebut untuk melakukan kebaikan dan kemanfaatan. Orang
mukmin dilarang mengkafiri nikmat ini dengan cara memalingkan penggunaan
anggota tersebut menuju apa yang dilarang syariat. Akal sehat juga tidak dapat menerima
kekufuran tersebut. Sesungguhnya kalau perbuatan itu bagus, maka baguslah
balasannya, dan kalau perbuatan itu tercela, maka tercelalah balasannya. Ini
seperti ayat: {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}.
Tafsiran ayat ini menurut tafsir Jalâlain, al-Khâzin,
dan al-Nawawî, bahwa menysukuri nikmat Allah itu adalah dengan cara melakukan
ketaatan kepada Allah. Sedangkan Imam Zamakhsyarî cuma menafsiri dengan
bersyukur atas nikmat yang telah dikurniakan Allah kepada mukmin.
Selain dari syukur, salah satu akhlak yang terpuji
terhadap Allah adalah tawakal. Konsep ini terdapat dalam Alquran pada ayat:
"وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا
يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ
جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ "قَدْرًا
Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Kata {بالغُ أمرِه} adalah bacaaan Imam Hafsh. Bagi bacaan
imam selainnya adalah {بالغٌ أمرَه}.
Ibn Mardawaih dan al-Khathîb meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs,
“Sesungguhnya ayat ini turun pada seorang anak dari Auf bin Mâlik yang ditawan
musuh, lalu dia dan istrinya memperbanyak membaca kalimat ( )
Lalu musuh yang menawan anaknya lengah dalam menjaganya, sehingga anak itu
berhasil melarikan diri dengan membawa kambing-kambing musuh dan diserahkannya
kepada ayahnya. Lalu turnlah ayat ini”.
Imam al-Khâzin menafsiri kata { }
dengan mengatakan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah pada apa yang
diwakilkan kepadanya (dipinjamkan Allah kepadanya), maka Allah akan mencukupkan
apa yang lebih penting bagi orang tersebut. al-Khâzin juga menambahkan dengan
dukungan Hadis: Rasulullah SAW bersabda: “Adaikan kamu bertawakal (menyerah)
kepada Allah dengan sungguh-sungguh niscaya Allah akan memberi rizqi kepadamu
sebagaimana burung yang keluar pagi dengan perut kosong (lapar) dan kembali
senja hari sudah kenyang”.
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz { } itu bermakna “barangsiapa yang percaya
dengan Allah dalam masalah rezeki, maka Allah akan mencukupinya”.
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambah dari pendapat kitab
Tanwîr al-Miqbâs dengan qayyid setelah orang tersebut melakukan usaha untuk
mencari rezeki. Setelah wujudnya usaha ini barulah Allah akan mencukupkan apa
yang paling penting bagi orang tersebut dalam semua hal. Ini dikarenakan Allah
adalah Zat yang Maha mampu pada segala sesuatu ( ),
yang Maha kaya. Apabila datangnya rezeki dan selainnya itu dari perkara yang
tidak akan ada kecuali dengan takdir Allah, maka seseorang tidak akan disebut
sebagai orang yang memiliki akal kecuali apabila ia percaya kepada takdir
Allah. Ini didasari dengan firman Allah {وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ}. Hujah ini adalah sebagai dalil tentang
wajibnya bertawakal kepada Allah dan memasrahkan segala perkara kepada-Nya.
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan makna dari
tawakal adalah memberi/memasrahkan masalah-masalah kepada Allah. Selanjutnya,
al-Shâwî menjelaskan bahwa melakukan beberapa sebab (usaha) agar tercapai apa
yang diingini, itu tidak bertentangan dengan tawakal, karena sesungguhnnya
melakukan sebab (usaha) di sini adalah yang diperintah. Akan tetapi, untuk
mencapai tujuan tidak muktamad bergantung pada sebab-sebab tadi.
C.
Tafsir Ayat tentang Akhlak
yang Tercela Terhadap Allah
Selain dari akhlak yang terpuji terhadap Allah,
terdapat juga akhlak yang tercela terhadap Allah. Dari sekian banyak akhlak
yang tercela terhadap Allah, syirik adalah yang paling tercela. Syirik disebut
di dalam Alquran pada ayat:
"إِنَّ اللَّهَ
لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا "
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Kata { }
adalah bermakna menutup dosa (
). Sedangkan { } adalah orang yang
dimasukkan ke dalam syurga dengan tanpa dosa, dan orang mukmin yang diseksa
sebab dosanya lalu dimasukkan ke syurga. Kata { } berarti membuat ( ), mengerjakan ( ), atau berbuat ( ). Kata { } adalah dosa besar ( ).
Sebab turunnya ayat ini dikeluarkan Ibn `Abî Hâtim dan
al-Thabrânî yang diceritakan dari `Abî Ayûb al-`Anshârî, berkata: “Seorang
lelaki datang menemui Nabi SAW lalu berkata: sesungguhnya aku memiliki anak
saudara lelaki yang tidak berhenti melakukan dosa, lalu Nabi Muhammad SAW
bertanya: Apa agamanya? Dia pun menjawab: Anak itu sholat dan mentauhidkan
Allah. Nabi barkata: mintalah dia memberikan agamanya, kalau dia menolak, maka
belilah agamanya. Lalu orang tersebut melakukan perintah Nabi, dan ternyata
anak itu menolak. Maka lelaki itu datang menemui Nabi Muhammad SAW dan
mengkabari beliau, dan lelaki itu berkata: aku menemui kalau anak itu
kikir/lokek akan agamanya. Maka turunlah ayat ini”.
Imam Ibn Katsîr dalam menafsiri ayat ini dengan menggunakan
banyak sekali hadis. Salah satu yang menarik adalah hadis kedua yaitu perkataan
`Abû Bakar al-Bazzâr di dalam musnahnya: Ahmad menceritakan dari Zâidah
al-Namrî dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Kezaliman itu
ada tiga, (1) zalim yang tidak diampuni Allah, (2) zalim yang diampuni Allah,
(3) zalim yang Allah tidak meninggalkan darinya sesuatu apapun ( ).
Zalim yang tidak diampuni Allah adalah syirik, dan Nabi Muhammad SAW bersabda
“ ”.
Zalim yang kedua adalah zalimnya hamba terhadap dirinya sendiri yang
berhubungan dengan Allah. Zalim yang ketiga adalah zalimnya hamba terhadap
sesama mereka sehingga terjadi hutang (material maupun non material) yang belum
dilunasi di antara mereka”.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, ayat ini mengkabarkan
bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, yaitu dosa pelaku kesyirikan.
Yang diingini dengan syirik di sini adalah mutlak kekufuran yang terkandung di
dalamnya kekufuran orang Yahudi dan lainnya. Allah juga akan mengampuni dosa
selainnya bagi hamba yang diingini-Nya. Selanjutnya, Dr. Wahbah al-Zuhailî juga
mengeluarkan sebuah `Atsâr yang diambil dari al-Turmudzî, bahwa Sayyidina Ali
bin Abi Thalib pernah berkata: “Tidak ada di dalam al-Qur’an ayat yang lebih
aku sukai daripada ayat ini, yaitu {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ
افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}”.
Imam al-Thabarî mengatakan bahwa Allah tidak akan
mengampuni perbuatan syirik terhadap-Nya dan kekufuran. Allah akan mengampuni
orang-orang yang berbuat dosa selain syirik. Ayat ini juga menjelaskan bahwa
setiap pelaku dosa besar, mungkin diampuni oleh Allah kalau Allah menghendakinya,
atau meyiksanya selagi bukan dosa besar berupa syirik yang mana tidak akan
diampuni.
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini
memasukkan golongan Yahudi ke dalam golongan musyrik (orang yang melakukan
syirik) menurut ‘urf syarak. Alasan ini didasari dari penalaran, kalau memang
Yahudi bukan yang melakukan syirik (karena mereka memang masih percaya Tuhan
itu satu), maka pastilah mereka diampuni dosa mereka sesuai dengan hukum ayat
ini. Sedangkan secara ijmak, Yahudi itu bukanlah golongan yang diampuni. Maka
atas dasar ini, Yahudi digolongkan di dalam golongan musyrik.
Syaikh Nawawî al-Jâwî menjelaskan bahwa Allah tidak
akan mengampuni dosa orang yang melakukan syirik adalah bagi orang yang tetap
dengan sifat kekufuran tersebut dengan tanpa melakukan taubat dan iman. Allah
akan mengampuni dosa besar maupun kecil yang selain syirik walaupun tanpa
taubat. Sedangkan melakukan syirik lalu bertaubat, maka tetap akan diampuni
kalau memang dikehendaki Allah. Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Zamakhsyarî.
Pendapat ini berdasarkan hadis kisah seorang hamba bernama Wahsyi masuk
Islamnya tetap diterima walaupun dia juga yang melakukan pembunuhan terhadap
paman Nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Hamzah.
Selanjutnya, akhlak yang tercela terhadap Allah adalah
al-nifâq atau orang tersebut digelar munafik ( ). al-Nifâq digolongkan ke
dalam akhlak yang tercela terhadap Allah adalah sesuai dengan ayat:
"إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ
وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا
كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا
قَلِيلًا"
Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud
riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.
Imam Ibn Katsîr dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa
pada awal surah al-Baqarah, Allah SWT berfirman: {يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا}, lalu di sini firman-Nya {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ
وَهُوَ خَادِعُهُمْ}.
Tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT itu tidak dapat ditipu. Allah Maha
mengetahui rahsia-rahsia dan apa yang tersimpan. Akan tetapi, orang munafik
karena kebodohan mereka itu berkeyakinan bahwa masalah mereka itu seperti apa
yang disangka manusia. Mereka melakukan hukum syariat secara lahir. Begitu juga
hukuman mereka di hari kiamat menurut Allah. Pada hari kiamat nanti mereka akan
bersumpah bahwasanya mereka itu istiqâmah dan benar. Mereka juga akan
beriqtikad kalau perkara tersebut dapat memberi manfaat pada mereka, seperti
firman Allah { يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيَحْلِفُونَ لَهُ
كَمَا يَحْلِفُونَ لَكُمْ }. Akan
tetapi, Allah SWT lebih tinggi dari mereka, dan Allah akan membuat mereka tidak
mendapatkan yang hak dan sampai kepada Allah SWT di dunia dan akhirat. Ini
seperti firman Allah SWT dalam Alquran 57:13-15.
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz { } itu dinisbatkan kepada
Abdullah bin `Ubai dan sahabat-sahabatnya. Mereka menipu Allah secara diam-diam
dan menyangka kalau berjaya menipu Allah. Padahal Allah akan menipu mereka pada
hari kiamat nanti di sisi al-Shirâth.
Dalam menyikapi tafsir ayat ini, Dr. Wahbah al-Zuhailî
memberi kesimpulan dengan beberapa poin. Menurutnya, ayat ini menunjukkan:
1.
al-Nifâq dan al-Riyâ` itu adalah
dua perkara yang berlaku pada setiap umat dan zaman. al-Nifâq: merahsiakan
kekufuran, dan memperlihatkan keislaman. al-Riyâ` memperlihatkan kebaikan, demi
dilihat manusia, bukan karena mengikuti perintah Allah.
2.
Orang munafik menipu Allah,
sebenarnya Allah yang mempermainkan mereka.
3.
Orang munafik melakukan hukum
syarak di dunia secara lahir. Sedangkan di akhirat, orang mukmin dan munafik
akan diberi cahaya. Maka orang munafik akan suka dan menyangka mereka itu
beruntung. Akan tetapi pada waktu mereka sampai di al-Shirâth maka padamlah
semua cahaya orang munafik.
4.
Salah satu sifat orang munafik
adalah solat dengan riyâ`. Mereka malas melakukan solat, dan tidak mengharapkan
pahala, serta menganggap tidak akan diseksa kalau meninggalkannya. Dalam hadis
sahih “إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ
عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ”.[48]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Sifat al-Baqâ` Allah SWT berdasarkan pada ayat {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} ditafsiri dengan berbagai tafsiran, akan tetapi, ulama sepakat bahwa berdasarkan ayat ini Allah adalah Zat yang kekal, sedangkan sesuatu yang baru itu pasti rusak/hilang; sifat al-Mukhâlafah li al-Hawâdits berdasarkan pada ayat {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ }, yaitu Allah tidak memiliki istri, maupun yang menyamainya; sifat al-Kalâm yang berdasarkan pada ayat { } yaitu Allah memiliki sifat berfirman seperti firmannya Allah kepada Nabi Musa AS secara hakiki dengan tanpa huruf maupun suara, sedangkan firman Allah kepada nabi yang lain adalah melalui wahyu atau perantara malaikat Jibril AS.
- Akhlak terpuji terhadap Allah adalah syukur dan tawakal, berdasarkan ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} yaitu perintah untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada makhluknya; dan ayat { } yaitu barang siapa yang memasrahkan masalahnya kepada Allah dengan usaha Allah akan memenuhi keperluan yang paling penting baginya, walaupun usaha bukanlah satu-satunya jalan untuk berhasil.
- Akhlak tercela terhadap Allah adalah syirik dan al-nifâq, berdasarkan ayat {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}, yaitu Allah akan mengampuni segala dosa kecuali syirik yang sampai akhir hayatnya tanpa melakukan taubat; sedangkan ayat al-nifâq adalah {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ}, yaitu orang munafik menipu Allah di dunia, akan tetapi nanti Allah yang akan mempermainkan mereka di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaili, Al-Tafsir Al-Munir, Damaskus : Dar
AlFikir, 2005
Ibn Katsir, Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim,
Beirut : Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah, t.t
Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari Min Kitabihi Jami’
Al-Bayan’ an Ta’wil ‘AYi Al-Qur’an, Beirut : Mu’assasah Al-Risalah, 1994
Al-Jalalain, Tafsir Al-Jalalain bi Hamisy
Hasyiyyah Al-Alamah Al-Shawi, Semarang : Maktabah Thaha, t.t
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadiran Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat, hidayah dan nikmatnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Penulisan Makalah dengan judul “TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ALLAH
SWT” .
Penulisan Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas
mata kuliah tafsir di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) AL-Khairiyah. Dalam
Penyusunan makalah ini, Penulis telah banyak mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan
dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan
untuk mengkoreksi kesalahan yang ada. Semoga pengetahuan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, Khususnya dalam dunia ilmu pengetahuan, dan pembaca pada
umumnya.
Cilegon,
September 2009
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................. .... i
DAFTAR
ISI ...................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A.
Latar Belakang ............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................... .... 1
BAB
II PEMBAHASAN ............................................................................... 2
A.
Tafsir Ayat-Ayat Sifat Allah ........................................................ 2
B.
Tafsir Tentang Akhlak Yang Terpuji
Terhadap Allah .................. 6
C.
Tafsir Ayat tentang Akhlak Yang
Tercela terhadap Allah ........... 9
BAB
III PENUTUP ........................................................................................ 13
A.
Kesimpulan ................................................................................... 13
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar